h1

Inikah Sinetron Indonesia???


Let’s think…

Seperti yang telah anda semua ketahui, bahwa acara-acara di televisi belakangan ini didominasi oleh banyaknya sinetron yang “menggoda” bagi para pemirsa televisi. Dari tema cinta, perselingkuhan, remaja dan yang sampai saat ini berada di urutan teratas adalah kesenjangan sosial dan kedua teratas adalah kekejaman/anarkisme. Hal ini tentu saja membuat sebagian orang miris, termasuk saya.

Tema cinta tentu saja dari jaman dahulu sampai sekarang tetap terasa romantis dengan berbagai macam alur yang disajikan, dan tema ini pun bisa menyebar dan bercabang menjadi tema-tema yang lainnya. Hanya saja entah mengapa atau memang sebuah ciri khas film indonesia bahwa anarkis dan kesenjangan sosial menjadi bumbu dan plot cerita yang wajib diadakan untuk menambah panjangnya episode sebuah sinetron.

Tentu saja sebagai tontonan keluarga seharusnya pada sinetron diberi kode yang sama dengan film-film box office yaitu D (Dewasa), BO (Bimbingan Orangtua) dan R (Remaja) sebagai tindakan pertama untuk mem-filter penonton, walau pastinya tidak akan berfungsi tetapi semua kembali pada filter diri masing-masing.

Dapat kita lihat saat ini dengan mata terbuka, dari segi penampilan, pemikiran dan pergaulan kebanyakan anak-anak remaja saat ini lebih terpengaruh dengan apa yang mereka lihat di TV, mereka menganggap bahwa Tv merupakan media langsung dalam ngengikuti perkembangan trend terkini. Dan banyak orang tua yang menyalahkan bahwa budaya luar-lah yang telah membuat anak-anak mereka seperti itu, padahal jika kembali kita telaah… Tv lah yang pertama kali memperlihatkan sebagai jendela dunia ter-nyata setelah buku.

Sebagai contoh kecil saja : Saya adalah orang yang terlahir dikota besar, yang mereka anggap sebagai kota megapolitan, lalu dibesarkan dengan melihat langsung setiap kejadian dan setiap perubahan mode dan trend berbicara. Seandainya orang tua saya bukanlah orang yang keras, saat ini saya mungkin tidak akan pernah menulis artikel ini di blog saya. Saat saya SMA, bagaimana saya membenci apa yang saya lihat di sinetron. Para mahasiswa yang terlihat disana, menggunakan mobil-mobil mewah, kehidupan malam, cara mereka berbicara pada teman dan orang tua, terutama pada para mahasiswinya dengan pakaian yang membuat banyak orang matanya selalu tertuju ke dirinya… bagi saya itu lebih menakutkan dari pada tawuran ataupun demo 98. Itu membuat saya kecut untuk melanjutkan pendidikan dikota besar. Tapi bagaimana saya justru merasa takjub bahwa Allah telah menempatkan saya disebuah politeknik universitas ternama, dimana para mahasiswa dan mahasiswinya tidak seperti yang saya lihat ditelevisi. Untuk pertama kali saya merasa apa yang saya lihat di televisi hanya dilebih-lebihkan.

Tetapi… ternyata apa yang kita lihat di sinetron benar-benar nyata, entah karena masyarakat yang menjadi sumber cerita itu atau justru sebaliknya, sinertonlah yang telah mempengaruhi masyarakat? Sungguh miris jika kita menjadikan diri kita sebagai sumber dari cerita tersebut atau menjadikan diri kita seperti orang-orang dalam cerita sinetron tersebut.

Mungkin ada baiknya para produser, sutradara dan pemain sinetron tersebut sama-sama menelaah baik buruknya bagi masyarakat indonesia, karena saat ini bukan budaya luar-lah yang menjadi faktor utama menurunnya nilai-nilai moral masyarakat Indonesia, tetapi justru apa yang kita lihat, dengar dan rasa dari setiap media komunikasi tersebut yang harus kita filter baik buruknya.

Anggap saja sebagai permohonan… please… semua sinetron jangan menayangkan adengan anarkis, kebejatan moral manusia atau juga kesenjangan sosial, hal tersebut justru merendahkan harga diri bangsa kita…

Tinggalkan komentar